[Essai] Jangan Ada Cebong Vs Kampret Di Pilkades Klambu 2018

Essai Kabar Klambu
Kabar Klambu - Dulu dunia ini begitu indah, perdebatan-perdebatan sengit di sosial media umumnya hanya didominasi oleh topik siapa yang lebih baik antara Cristiano Ronaldo dan Leo Messi atau siapa yang lebih terlihat terdzolimi saat memerankan Indah di sinetron Tersanjung, Lulu Tobing atau Jihan Fahira.

Namun setelah Pemilu Presiden tahun 2014 yang lalu, semua keindahan, kedamaian dan kerukunan itu seakan hancur tanpa puing. Masyarakat terpecah menjadi 3 bagian. Mereka yang mendukung Presiden terpilih kemudian disebut Cebong, sementara mereka yang sakit hati karena jagoannya gagal jadi Presiden dipanggil Kampret, sementara bagian ketiga adalah mereka yang masa bodoh dengan kondisi saat ini. Yang penting isih iso ngudut karo ngopi nang warung kata mereka.

Selama nyaris 5 tahun ini media sosial seperti menjadi medan perang antar kedua kubu tersebut. Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut, yang pasti hal ini sangat tidak sehat dan berpengaruh buruk terhadap sisi kemanusiaan dan kebersamaan yang selama ini menjadi pegangan bangsa ini untuk dapat merebut kemerdekaan.

Sama seperti konflik-konflik antar kubu lainnya, permasalahan awal pasti di dasari oleh sebuah perbedaan dalam berpendapat. Meski tujuan mereka sama yakni untuk kebangkitan bangsa namun kerap kali jalur yang berseberangan malah membuat mereka melupakan tujuan utama dan sibuk untuk saling menjatuhkan.

Perpecahan bisa terjadi dimanapun, bahkan di pelosok desa sekalipun, termasuk di Desa Klambu ini. Seringkali saat momen-momen jelang pemilihan Kepala Desa, sisi sensitifitas antar masyarakat semakin meningkat. Bahkan tak jarang pula yang awalnya berteman baik mendadak seakan tidak lagi saling kenal hanya karena berbeda dalam memilih calon kepala desa. Dan level tertinggi dari sensitifitas jelang Pilkades adalah tidak diundangnya tetangga yang berbeda pilihan didalam sebuah acara hajatan hanya karena berbeda pilihan calon.

Kenapa demikian? Permasalahan masih sama, semua karena over fanatisme yang mudah sekali dialami oleh masyarakat di pedesaan. Mereka yang merasa pernah dibantu salah satu calon kemudian menjadi lebih agresif dalam menanggapi setiap hal yang menyangkut calon jagoannya itu. Mendengar nama calon jagoannya dibicarakan saja mereka kadang langsung naik pitam.

Sisi seperti ini sebenarnya sudah harus dihilangkan, terlebih di era kemajuan digital seperti sekarang ini dimana akses informasi jadi semakin mudah. Tak perlulah kita dengan buta dan hanya karena sekali dua kali dibantu kemudian mempertaruhkan nasib Desa dalam 5 tahun kedepan. Kalau memang orang yang didukung tepat sih nggak masalah, tapi kalau yang didukung ternyata pernah menggelapkan uang, memotong anggaran proyek jalan atau bahkan menyalahgunakan dana desa namun kita tetap membelanya hanya karena merasa hutang budi, maka selamanya kalian hanya akan terus dimanfaatkan.

Memang tak ada yang salah dengan fanatisme, namun sebagai masyarakat meskipun tinggal di desa, kita juga harus melek politik. Seperti layaknya Cebong vs Kampret, fanatisme politik berlebih hanya akan membuat perpecahan antar tetangga bahkan saudara. Bisa-bisa seperti contoh kasus yang di Jakarta kemarin sampai tega tidak mensholati jenazah hanya karena berbeda pilihan calon pemimpin.

Maka sebelum memutuskan untuk menjadi pendukung fanatik seorang calon, pahami dan kenali dulu dengan baik siapa calon yang akan anda bela mati-matian itu, pelajari rekam jejaknya jangan hanya karena balas budi lantas membutakan kita dalam menentukan nasib Desa tercinta selama 5 tahun kedepan ini.

Lalu saat sudah menentukan dukungan, selanjutnya bersainglah secara sehat, sampaikan program-program calon dukungan anda kepada masyarakat. Perlihatkan visi misinya untuk kemajuan desa dan ingat jangan gunakan kampanye hitam, Hoax atau bahkan isu-isu yang sengaja diciptakan untuk menjatuhkan lawan. Masyarakat Desa Klambu harus melek politik dan cerdas dalam mengawal kedamaian dan kesuksesan Pilkades Klambu 2018 November nanti.